Selasa, 04 September 2007

Pengendalian Mutu Layanan Pendidikan Nasional dalam Perspektif Kepemimpinan Pendidikan Global

ABSTRAKSI
Proses berlangsungnya pendidikan di Indonesia dilihat dari konteks ketata-negaraan secara sosio historis sudah berjalan satu generasi Manusia (1945-2007). Namun kenyataan sekarang ini menunjukkan bahwa sebagai negara kita berada jauh ketingggalan di banding negara negara tetangga kita seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, dan hanya sedikit saja negara kita berada di atas Laos dan Kamboja,--negara yang terpuruk lantaran larut dalam situasi konflik perebutan kekuasaan--. Dalam laporan UNDP PBB tentang indeks potensi sumber daya manusia (Human Development Indeks) tahun 2003 misalnya, negara kita berada di urutan 112 dari 150 negara di dunia yang diteliti, jauh ketinggalan dari Singapura yang berada di posisi 41, Malaysia 56, Thailand 67, Philipina 77 , dan yang lebih tragis lagi, kita kalah dari Vietnam yang berada di urutan 105, padahal ia baru beberapa puluh tahun merdeka.1 Pada indeks tahun berikutnya kita berada di urutan 111 hanya meningkat satu tingkat dan masih tidak merubah dari posisi underdog di pelataran negara-negara Asia Tenggara.

Dalam laporan Capaian Pembangunan Millenium atau MDGs (Mellenium Development Goals), proyek kemanusiaan yang dicanangkan PBB selama 15 tahun (2000-2015), juga menggambarkan bahwa prestasi tanah air kita ini mengalami kemunduran peringkat.2 Laporan A Future With-in Research (2006) menempatkan Indonesia di kelompok terbawah bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina.3

Dari kondisi semacam ini, sebenarnya adakah signifikansinya dengan kondisi pendidikan di negara kita yang sedang mencari terus bentuk-bentuk idealnya ? Sisi mana kiranya yang terlupakan untuk mendapat perhatian khusus ? Bagaimana implikasi dan implementasi kepemimpinan pendidikan di Indonesia selama ini dalam melecut kemajuan pendidikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia bangsa kita ini ? Trilogi pemikiran inilah yang akan penulis uraikan dan penulis coba kembangkan dalam bahasan, selanjutnya sedapat mungkin penulis akan mencoba memproyeksikan konsep-konsep revitalisasi dan transformasi kepemimpinan untuk merentaskan solusi yang kiranya memungkinkan untuk dihamparkan dalam upaya peningkatan mutu dunia pendidikan kita.

Kata Kunci : Kepemimpinan Pendidikan, Mutu Layanan Global
A. PENGENDALIAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN NASIONAL
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 6 dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelenggaraan pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.4
Apabila kita cermati, antara amanah di atas dengan kenyataan kebijakan dan paradigma pendidikan di negara kita beberapa dekade ke belakang, nampaknya terasa sekali oleh kita bahwa ada yang terlupakan oleh pemerintahan masa lalu kita, yaitu prioritas dan proteksi pendidikan warga negara.

Betepapun pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang teramat penting bagi perkembangan suatu masyarakat, namun pada kenyataannya, selama puluhan tahun pendidikan tak lebih hanya dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi yang ditandai dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi semata. Pembangunan bidang bidang pendidikan diarahkan semata-mata untuk menunjang keberhasilan pembangunan sektor ekonomi. Itulah sebabnya pengembangan sumber daya manusia (human resource development) yang berkualitas sering juga diartikan sebagai sumber daya manusia di bidang ekonomi an sich.insani) dengan segala keutuhannya (human being as a whole), yakni peningkatan segenap kualitas insani, yang terdiri dari kualitas akal, kalbu, nafsu, dan kualitas jasmani. Berdasarkan konsep human being as a whole, maka pengembangan sumber daya manusia menurut konsep ekonomi hanyalah salah satu bagian dari pengembangan sumber daya manusia seutuhnya. Sebaiknya, pengembangan sumber daya manusia harus dipahami lebih luhur, yaitu sumber daya manusia,

1. Kepemimpinan Transformasional
Konsep awal kepemimpinan transformasional telah dimulai sejak Burns (1978) menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses yang pada dasarnya “Para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Para pemimpin tersebut mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi (i`tikad baik, red.) dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan; bukan berdasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian (like and dislike, red.). Adapun hubungannya dengan hirarki kebutuhan Maslow, maka para pemimpin transformasional menggerakkan kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi pada para pengikutnya. Para pengikut dinaikkan dari “diri sehari-hari” ke “diri yang lebih baik”.

Pemimpin transformasional sesungguhnya merupakan agen perubahan, karena memang erat kaitannya dengan transformasi yang terjadi dalam suatu organisasi. Fungsi utamanya adalah berperan sebagai katalis perubahan, bukannya sebagai pengontrol perubahan. Seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistik tentang bagaimana organisasi di masa depan ketika semua tujuan dan sasarannya telah dicapai (Covey, 1989; Peters,1992).

Sergiovanni (1990,21) berargumentasi bahwa makna simbolis dan tindakan seorang pemimpin transformasional adalah lebih penting dari tindakan aktual. Nilai-nilai yang dijunjung oleh pemimpin yang terpenting adalah segalanya. Artinya, ia menjadi model dari nilai-nilai tersebut, mentransformasikan nilai-nilai organisasi jika perlu untuk membantu mewujudkan visi organisasi. Elemen yang paling utama dari karakteristik seorang pemimpin transformasional adalah ia mesti memiliki hasrat yang kuat untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang transformasional adalah seorang yang memiliki keahlian diagnosis, dan selalu meluangkan waktu dan mencurahkan perhatian dalam upaya untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek.

2. Kepemimpinan Transformasional dan Peningkatan Mutu Pendidikan

Sejak pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional menerapkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pada saat yang sama juga diperkenalkan konsep peningkatan mutu berbasis sekolah, yang oleh karenanya dikenal kemudian dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).

Manajemen Pengingkatan Mutu Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan di tanah air. Paradigma ini lebih menekankan pada kemandirian dan kreatifitas lembaga penyelenggara pendidikan. Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah didasarkan pada suatu teori yang disebut dengan effecitve school theory, yaitu suatu teori kendidikan yang melihat mutu bukan semata-mata pada lulusan tetapi lebih pada upaya perbaikan proses pendidikan.

Keberhasilan lembaga pendidikan dalam mengelola mutu menurut konsep MPMBS ini ditandai oleh beberapa indikator kunci, yaitu: (1) lingkungan lembaga pendidikan yang aman dan tertib, (2) lembaga pendidikan memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) lembaga pendidikan memiliki kepemimpinan yang kuat, (4) adanya harapan yang tinggi untuk berprestasi dari semua elemen lembaga pendidikan, (5) adanya pengembangan sumber daya manusia yang terus menerus sesuai tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) adanya suatu pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari masyarakat.

Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan dan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik di dunia pendidikan maupun perubahan-perubahan sosial lainnya; sehingga lembaga pendidikan dapat menyediakan layanan pendidikan yang bermutu bagi masyarakat.

Bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam formal, terutama madrasah, implementasi konsep manajemen pengelolaan mutu ini dituntut untuk memiliki tanggung jawab dalam mengelola dirinya, dalam pengurusan administrasi, keuangan, dan fungsi-fungsi warga belajar di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan pemerintah. Dengan didukung oleh steakholders (masyarakat) madrasah dituntut membuat keputusan, mengatur skala prioritas, mengembangkan lingkungan sekolah (school climate) yang kondusif bagi pendidikan dan pembelajaran. Dalam konteks inilah pimpinan madrasah dituntut memiliki kemampuan mengkoordinasikan seluruh elemen lembaga pendidikan secara profesional.

Dalam konsepsi ini, fungsi lembaga pendidikan adalah menggerakkan semua elemen lembaga pendidikan untuk selalu berorentasi pada mutu secara meyeluruh atau sering disebut mutu total atau ada juga yang menyebut “Total Quality Manajemen (TQM)”. Terdapat empat hal yang terkait denga prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total ini, yaitu: (1) perhatian harus ditekankan pada proses terus-menerus dengan mengumandangkan peningkatan mutu, (2) mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa lembaga pendidikan, (3) prestasi diperoleh melalui pemahaman visi lembaga pendidikan dan bukan melalui pemaksaan aturan, (4) lembaga pendidikan dituntut menghasilkan out-come siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, berkarakter, dan memiliki kematangan emosional.

Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen atau pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan preoses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan dapat berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.

Mutu proses dan hasil pendidikan biasanya dilihat melalui: (1) rentangan pencapaian kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa, (2) penerimaan dunia kerja, (3) nilai-nilai dalam masyarakat, (4) perubahan kondisi masyarakat, dan (5) kehidupan masyarakat. Mutu “proses pendidikan” mencakup komponen-komponen : (1) input, (2) metodologi, (3) sarana dan prasarana lembaga pendidikan, (4) dukungan administrasi, (5) dukungan sumber daya manusia, (6) penciptaan suasana yang kondusif (academic atmosphere). Sedangkan mutu hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis, atau prestasi di bidang olahraga, seni atau keterampilan tertentu, serta dapat pula berupa suasana atau kondisi yang tidak nyata (intangible) seperti kedisiplinan, kenyamanan, nilai-nilai luhur dan sebagainya.

Dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan tersebut, peran kepemimpinan memiliki fungsi yang sangat strategis. Seorang pemimpin lembaga pendidikan akan menjadi sandaran bagi elemen lembaga pendidikan lain, khususnya masyarakat, sejauh mana ia dapat menjamin lembaga pendidikannya bermutu.

3. Strategi Pengembangan Mutu

Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis orang tua, siswa, guru, dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap lembaga pendiidikan, pimpinan lembaga pendidikan bersama segenap komponen lembaga pendidikan dituntut untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Strategi yang dapat ditempuh oleh pimpinan lembaga pendidikan demi terealisasikannya mutu pendidikan dapat dilakukan empat usaha mendasar sebagaimana disebutkan oleh Slamet (1999), yaitu:

1. Menciptakan suasana “menang-menang” (win-win situation) dan bukan kalah menang di antara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (steakholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

2. Perlunya dikembangkan motivasi intrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus-menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna atau langganan.

3. Setiap pimpinan dituntut berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus-menerus.

4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku yang sedang berusaha mencapai hasil mutu. Janganlah di antara mereka terjadi persaingan yang tidak sehat yang menganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerja sama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghsilkan mutu sesuai yang diharapkan.5

B. MANAJEMEN MUTU TERPADU

Berkenaan dengan pengelolaan Pendidiakn Nasional, Tilaar (1994:11) mengemukakan bahwa manajemen sistem pendidikan nasional merupakan suatu proses sosial yang direkayasa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional secara efektif dan efisien dengan mengikut-sertakan kerjasama sertta partisipasi seluruh masyarakat. Fungsi, kisi, dan kebijakan pendidikan nasional untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu memerlukan pengelola sistem pendidikan secara keseluruhan dan berorientasi kepada mutu ini dikenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Istilah itu sendiri telah lebih populer dalam dunia bisnis dan industri dengan istilah Total Quality Manajement (TQM).

Inti strategi ini adalah usaha sistematis dan terkoordinasi untuk secara terus-menerus memperbaiki kualitas pelayanan, sehingga fokusnya diarahkan ke pelanggan dalam hal ini peserta didik, orang tua pesereta didik, pemakai,lulusan, guru, karyawan, pemerintah, dan masyarakat.

Sedikitnya terdapat lima pelayanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas meliputi: (1) kepercayaan (reliability): layanan sesuai dengan yang dijanjikan; (2) keterjaminan (assurance): mampu menjamin kualitas layanan yang diberikan; (3) penampilan (tangible) : iklim sekolah yang kondusif; (4) perhatian (emphaty): memberikan perhatian penuh kepada peserta didik; (5) ketertanggapan (responsiveness): cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik.

Dari uraian di atas tampak bahwa manajemen mutu terpadu (TQM) merupakan hal sangat penting untuk diaplikasikan dalam lembaga pendidikan manapun. Kegiatan tersebut dapat dilakukakn secara efektif dan efisien jika ditunjang oleh strategi manajemen pendidikan yang tepat, sehingga tujuan pendidikan nasional dapat diwujudkan.6

Total Quality management (TQM) adalah suatu sistem menajemen yang berfokus kepada orang yang bertujuan untuk meningkatkan secara berkelanjutan kepuasan customers pada biaya sesunguhnya yang secara berkelanjutan terus menurun (Bounds dalam Mulyadi, 1998:10). Menurut Mulyadi TQM merupakan pendekatan sistem secara menyeluruh (bukan suatu bidang atau program terpisah) dan merupakan bagian terpadu strategi tingkat tinggi. Sistemini bekerja secara horizontal menembus fungsi dan departemen, melibatkan semua karyawan dari atas sampai bawah, meluas ke hulu dan ke hilir, mencakup mata rantai pemasok dan customer.

Kisah sukses implementasi TQM di duniabisnis mengilhami lembaga-lembaga lain termasuk pendidikan untuk mengadopsiya. Perusahaan-perusahaan yang dikenal bwerhasil meningkatkan kinerja, produktifitas, proftabilitas, dan daya saing secara signifikan lewat TQM antara lain Xerox, IBM, Allen Bradley, Motorola, Moriot, Harley Davidson, Ford, Toyota, Hewlett-Packard, dan Group Astra.

Paling tidak terdapat empat kriteria agar program TQM yang diterapkan oleh suatu perusahaan berhasil. Keempat kinerja dijelaskan Creech (1996:4) adalah sebagai berikut.

1. TQM harus didasarkan pada kesadaran akan mutu dan berorientasi pada mutu dalam semua kegiatannya sepanjang program, termasuk dalam setiap proses dan produk.

2. TQM harus mempunyai sifat kemanusiaan yang kuat untuk membawa mutu pada cara karyawan diperlakukan, diikutsertakan, dan diberi inspirasi.

3. TQM harus didasarkan pada sistem desentralisasi yang memberikan wewenang di semua tingkat, terutamna di garis depan, sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan, bukan hanya slogan kosong.

4. TQM harus diterapkan secara menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijaksanaan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah organisasi.

Dalam dunia pendidikan aplikasi TQM mengundang berbagai perdebatan, bahkan masih banyak para pakar pendidikan mempertanyakan kelayakan dan kesesuaian konsep dengan karakteristik pendidikan.

Taylor & Hill (1993) dan McCulloch (1993), misalnya berargumentasi bahwa TQM merupakan konsep yang sulit dievaluasi dalam dunia pendidikan tinggi. Sedangkan Holmes dan Gerard (1995) berpendapat bahwa TQM mungkin cocok untuk fungsi pendukung (support function), tetapi tidak untuk fungsi pembelajaran sebagai inti dari penyelenggaraan pendidikan.

Di sisi lain Herbert, Dellana & Bass (1995) mengemukakan empat bidang utama dalam penyelenggaraan pendidikan yang dapat mengadopsi prinsip-prinsip TQM. Pertama adalah penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan operasi atau secara luas untuk mengelola proses pendidikan secara keseluruhan. Kedua, adalah mengintegrasikan TQM dalam kurikulum. Ketiga, adalah penggunaan TQM untuk mengelola aktivitas riset dan pengembangan.

Dalam pendidikan filosofi TQM berarti bahwa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, maka budaya kerja yang mantap harus terbina dan berkembang dengan baik dengan tampilan diri seluruh karyawan yang terlibat dalam pendidikan. Motivasi, sikap, kemauan, dan dedikasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan adalah bagian terpenting dari budaya kerja itu (Permadi, 1998:9).

Konsep TQM dalam pendidikan memandang bahwa lembaga pendidikan merupakan industri jasa dan bukan sebagai proses produksi. TQM dalam hal ini tidak membicarakan permasalahan masukan (peserta didik) dan keluaran (lulusan, outcome), tetapi mengenai pelanggan yang mempunyai kebutuhan dan cara memuaskan pelanggan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa TQM memandang produk usaha pendidikan sebagai jasa dalam bentuk pelayanan yang diberikan oleh pengelola pendidikan beserta seluruh karyawan kepada para pelanggan sesuai dengan standar mutu tertentu. Adanya pendapat yang meyatakan bahwa lulusan merupakan produk pendidikan pada kenyataannya memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Hal ini menurut Permadi (1998:10) karena lulusan peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikannya adalah individu yang perilaku dan perbuatannya sesungguhnya bukan hanya dipengaruhi ilmu dan keterampilan yang diperolehnya selama pendidikan, melainkan juga dipengaruhi faktor lain, termasuk motivasi kerja, sikap dan latar belakang budaya serta pengaruh lingkungan.

Dengan demikian pendidikan yang bermutu tidak hanya dilihat dari kualitas lulusannya, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Pelanggan dalam hal ini adalah pelangan internal (tenaga kependidikan) serta pelangan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat dan pemakai lulusan).

Terdapat enam tantangan yang perlu dikaji dan dikelola secara strategik dalam rangka menerapkan konsep TQM di sekolah, yakni berkenaan dengan dimensi kualitas, fokus pada pelanggan, kepemimpinan, perbaikan berkesinambungan (sustainable recovery), manajemen SDM, dan manajemen berdasarkan fakta.

1. Dimensi Kualitas

sebagai salah satu bentuk jasa yang melibatkan interaksi yang tinggi antara penyedia jasa dan pemakai jasa, terdapat lima dimensi pokok yang menentukan kualitas penyelenggaraan pendidikan, yaitu :

a. Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan secara tepat waktu, akurat, dan memuaskan. Beberapa contoh di antaranya : pengembangan bahan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan (misalnya tuntutan keterampilan profesi dan dunia kerja); jadwal kegiatan pembelajaran dan ujian yang akurat; pembelajaran yang berlangsung lancar; bimbingan yang lancar dan cepat; kepastian studi lanjut tenaga kependidikan yang terencana dan terlaksana dengan baik; dana penelitian tenaga kependidikan; dan kegiatan peserta didik dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat sasaran, sesuai yang dijanjikan.

b. Daya tangkap (responsiveness), yaitu kemauan para tenaga kependidikan untuk membantu para pserta didik dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Dengan demikian, kepala sekolah harus mudah ditemui; guru juga harus gampang ditemui peserta didik untuk keperluan konsultasi. Proses pembelajaran hendaknya diupayakan interaktif dan memungkinkan para pesesrta didik mengembangkan seluruh kapasitas, kreatifitas, dan kapabilitasnya; fasilitas pelayanan yang ada (perpustakaan, komputer, lab, dan ruang olah raga) harus mudah diakses oleh setiap insan sekolah. Prosedur administrasi penerimaan peserta didik harus sederhana, tidak ‘birokrasi’ atau berbelit-belit. Dalam hal terhadi salah pelayanan, kemampuan untuk melakukan perbaikan secara cepat dan profesional bisa menciptakan persepsi kualitas yang sangat positif. Sebagai contoh bila ada komputer yang rusak di lab komputer, harus segera ada tindak lanjut, yaitu menginformasikannya kepada peserta didik dan segera memperbaikinya.

c. Jaminan mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap pelanggan, dan sifat dapat dipercaya (amanah) yang dimiliki para tenaga kependidikan; bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Sebagai contoh, seluruh tanaga kependidikan harus benar-benar kompeten di bidangnya; reputasi penyelenggara pendidikan yang positif di mata masyarakat; sikap dan perilaku seluruh tenaga kependidikan mencerminkan profesionalisme dan kesopanan.

d. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Misalnya, guru mengenal nama para peserta didik yang menempuh mata pelajaran yang diampu; wali kelas bisa benar-benar berperan sesuai fungsinya; setiap guru bisa dihubungi dengan mudah, baik di ruang kerja, via telepon, maupun e-mail.

e. Bukti langsung (tangibles) , meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, tenaga kependidikan, dan sarana komunikasi. Misalnya berupa gedung, fasilitas komputer, fasilitas perpustakaan, ruang kelas, ruang guru, ruang seminar, media pembelajaran, kantin, tempat parkir, jurnal ilmiah sekolah, sarana ibadah, fasilitas olah raga, laboratorium, penampilan dan busana tenaga kependidikan.

Urutan kelima dimensi di atas didasarkan pada derajat kepentingan relatifnya di mata pelanggan. Dimensi-dimensi ini digunakan pelanggan untuk menilai kualitas jasa (servicequality) dan jasa yang dipersiapkan merupakan ukuran kualitas jasa (Parasuraman, Zeithami, & Berry, 1985).

2. Fokus pada Pelanggan

Kepuasan pelangan merupakan faktor penting dalam TQM. Oleh sebab itu, identifikasi pelanggan pendidikan dan kebutuhan mereka merupakan aspek krusial. Ivancevich & Ivancevich (1992) menyatakan bahwa langkah pertama dalam menerapkan TQM adalah memandang peserta didik sebagai pelanggan yang harus dilayani. Pandangan ini dikenal secara luas, tetapi tidak diterima universal. Salah satu pihak yang mengajukan keberatan atas pandangan ini mengungkapkan bahwa secara tradisional, para peserta didik dianggap sebagai pelanggan yang karena mereka yang “membayar SPP” dan menerima jasa yang ditawarkan (pendidikan). Sekolah tidak akan ada tanpa peserta didik. Akan tetapi menurut mereka TQM bukanlah konsep tradisional. Justru pemakai akhir (end user) yang harus menjadi fokus utama para penyelenggara pendidikan.

3. Kepemimpinan

Kesadaran akan kualitas dalam organisasi bergantung pada banyak faktor yang saling berhubungan, terutama sikap kepala sekolah terhadap kualitas. Pencapaian tingkat kualitas bukan merupakan hasil cara penerapan instan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui implementasi TQM yang mensyaratkan kepemimpinan yang kontinyu.

Dalam konteks TQM, kepala sekolah perlu memiliki karakteristik pribadi yang mencakup: dorongan, motivasi untuk memimpin, kejujuran, integritas, kepercayaan diri, inisatif, kreatifitas, originalitas, fleksibilitas, kemampuan kognitif, pengetahuan bisnis, dan kharisma. Kualitas kepala sekolah tersebut dapat memberikan inspirasi pada semua jajaran manajemen agar memperagakan kualitas kepemimpinan yang sama yang diperlukan untuk mengembangkan budaya TQM. Oleh sebab itu, keterlibatan langsung kepala sekolah sangat penting. Goetsch & Davis (1994) mempertegas komitmen ini dengan pernyataan bahwa paling tidak sepertiga waktu kepala sekolah harus digunakan untuk terlibat langsung dengan usaha-usaha implementasi TQM.

Dengan landasan karateristik pribadi, kepala sekolah perlu menciptakan visi untuk mengarahkan organisasi dan para karyawan. Dalam konteks TQM, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas, memfokuskan semua upaya organisasi pada pemuasan kebutuhan pelanggan, menumbuhkan sense of teamwork dalam kehidupan kerja, menumbuhkan standard of excellence, dan menjembatani keadaan perusahaan sekarang dan masa mendatang. Visi dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran organisasi untuk mempromosikan perubahan inovasi, dan pengambilan keputusan (Puffer & McCarthy, 1996). Kepala sekolah kemudian mengambil berbagai langkah untuk menerjemahkan visi menjadi aksi (kegiatan-kegiatan spesifik) yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan tenaga kependidikan. Perolehan dukungan secara beresinambungan menuntut kepala sekolah untuk menerapkamn kepemimpinan transformasional (Handoko & Tjotono,1996), melalui (1) penyampaian inspirasi untuk mengkomunikasikan harapan tinggi, memfokuskan upaya, dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara sederhana; (2) stimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah; dan (3) pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatian personal dan memberdayakan karyawan.

Kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pada kepala sekolah selanjutnya disebarluaskan ke seluruh tenaga kependidikan. Hanya melalui diffusi ini, sekolah dapat menanamkan nilai-nilai TQM yang meresap melewati batas-batas tradisional dengan steakholder eksternal sebagai bagian integral sekolah. Empat komponen perilaku kepala sekolah yang dapat diterapkan dalam konteks TQM mencakup: pertukaran informasi, pengembangan hubungan, pemberdayaan karyawan, dan pengambilan keputusan.

4. Perbaikan Berkesinambungan

Perbaikan berkesinambungan berkaitan dengan kualitas (continuous quality improvement)continuous process improvement). Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua tenaga kependidikan untuk mewujudkan visi sekolah. Perbaikan berkesinambungan tergantung pada dua unsur: mempelajari proses, alat, dan keterampilan yang tepat; dan menerapkan keterampilan-keterampilan baru tersebut dalam berbagai kegiatan di sekolah. Proses perbaikan berkesinambungan dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA (plan, do, check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang never-ending dan berlaku pada semua kegiatan sekolah, misalnya penerimaan siswa baru (PSB), evaluasi akhir, dan penjadwalan pembelajaran. dan proses (

Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam pendidikan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atas fungsi proses belajar mengajar.

5. Manajemen SDM

Selain merupakan modal yang paling vital, SDM juga merupakan pelanggan internal yang menentuikan kualitas akhir suatu produk dan organisasi. Oleh sebab itu, sukses tidakmya implementasi TQM di sekolah sangat ditentukan oleh kesiapan, kesediaan, dan kompetensi kepala sekolah dan tenaga kependidikan di sekolah yang bersangkutan untuk sungguh-sungguh merealisasikannya. Peralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigma dalam praktek manajemen SDM. Kebijakan manajemen SDM tradisional yang menganut budaya 2C (Command and Control) perlu diganti dengan kebijakan baru yang berdasarkan budaya 3C (Commitment, Cooperation, and Communication).

Berdasarkan penelitian terhadap para profesional SDM di delapan perusahaan pemenang penghargaan kualitas Baldrige Award, Blacburn & Rosen (1993) mengajukan 14 komponen strategi SDM yang bisa memfasilitasi penerapan TQM :

1. Manajemen puncak bertanggung jawab memprakarsai dan mendukung visi budaya TQM.

2. Visi tersebut diklarifikasikan dan dikomunikasikan kepada semua insan organisasi.

3. Berbagai sistem yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan lateral dikembangkan, dilaksanakan, dan diperkokoh.

4. Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan, dan menajemen puncak mendukung secara aktif pelatihan seperti itu.

5. Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.

6. Organisasi wajib mengembangkan proses-proses yang melibatkan berbagai macam perspektif untuk menangani isu-isu kualitas.

7. Para karyawan diberdayakan guna mengambil keputusan yang berkualitas menurut kebijakan mereka dan rancangan pekerjaan harus menyatakannya dengan jelas.

8. Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekadar evaluasi kinerja masa lalu, menjadi tekanan pada apa yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para karyawan melakukan usaha-usaha kualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di masa depan.

9. Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim, termasuk penguasaan keterampilan-keterampilan tambahan.

10. Sistem pengakuan non-finansial bagi individu maupun kelompok kerja, yang mendukung upaya pencarian kualitas total.

11. Berbagai sistem yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang organisasi untuk menyampaikan perhatian, gagasan, dan reaksi mereka terhadap inisiatif kualitas.

12. Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara proaktif, bukan secara reaktif.

13. Berbagai program rekruitmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier karyawan mencerminkan realitas baru dalam mengelola dan bekerja dalam lingkungan TQM.

14. Meskipun membantu fihak lain untuk mengimplementasikan proses-proses yang mendukung TQM, profesionalisme SDM tidak boleh melupakan pentingnya manajemen dengan pedoman yang sama.

6. Manajemen Berdasarkan Fakta

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada fakta nyata tentang kualitas yang didapatkan dari beragam sumber di seluruh jajaran organisasi. Jadi, tidak semata atas dasasr intuisi, praduga, atau organiasasi politik. Berbagai alat perlu dirancang dan dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan keputusan berdasarkan fakta. Di antaranya adalah tujuh alat statistik utama yang melandasi Statistical Process Control (SPC): diagram sebab akibat, check sheet, diagram pareto, run chart, control chart, histogram, dan scatter diagram.7

C. PENGEMBANGAN SDM DI INDONESIA

Di era globalisasi abad 21 ini, realitas globalisasi demikian nyata membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Menurut Sadili Samsudin, salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi., yang akan terwujud manakala didukung oleh SDM yang andal di tingkat global. Dalam arti lain mampu berkiprah dalam wawasan internasional. Pendidikan diperlukan untuk menciptakan SDM berkualitas yang andal sebab dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi dengan pembangunan ekonomi yang sangat penting sebab pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul, baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental sehinga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi penyerapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu, dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya untuk memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.8

D. SEKOLAH NASIONAL BERSTANDAR INTERNASIONAL (SNBI)

Salah satu target yang dikedepankan oleh pemerintah kita saat ini dalam rangka peningkatan mutu di bidang pendidikan nasional ialah mampu melahirkan sekolah-sekolah berstandar internasional sebagai bentuk pencapaian SDM dalam negeri yang tangguh yang memiliki keunggulan komepetitif dan komparatif di tingkat global.

Sewaktu penulis belajar di USM (University Sains Malaysia ) di Pulau Pinang 1999-2000, dalam rangka Program Master Teacher for Subject Matter Depag-ADB, dan para akademisi di Malaysia sendiri menyebutnya sebagai Program Guru Madrasah Indonesia, mendapati bahwa sebagian besar perguruan tinggi negeri di negeri itu ketika itu saja (tujuh tahun yang lalu) sudah merupakan perguruan tinggi berperingkat internasional. Ada 11 perguruan tinggi di seluruh negeri Malaysia ketika itu yang sudah mengantongi sertifikat internasional. Di antaranya ialah USM9 di Pulau Pinang, UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) di Selangor, dan UIA (Universiti Islam Antarabangsa) di Kuala Lumpur). Budaya disiplin, belajar dan jujur yang sangat dijunjung tinggi oleh para pemimpin dan diikuti rakyat negeri jiran ini merupakan faktor yang paling menentukan kejayaan bangsa ini. Termasuk kejayaan pendidikannya yang kian mengglobal.

Bagaimana dengan pendidkan di negeri kita ?. Manakala jiran kita sudah demikian maju, dunia pendidikan kita masih berkutat untuk memunculkan banyak wacana baru yang digelontorkan oleh supra birokrasi kita. Mulai dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), kelas akselerasi, model pembelajaran tematik, sampai program sertifikasi guru. Yang membuat menarik, bagi guru yang lulus sertifikasi, kelak berhak mendapat tunjangan khusus yang besarnya satu kali gaji pokok. Padahal, di negeri jiran, sedari dulu sudah memberi gaji guru cukup tinggi hingga dari sepertiga gajinya saja guru di sana sudah mampu mencicil mobil jenis sedan proton buatan dalam negeri. Di negeri kita guru mau naik gajinya satu juta setengah saja harus digojlok dengan dalih sertifikasi, sementara para anggota dewan naik sepuluh kali lipat dari itu hanya cukup dengan mengisi absensi. Kapan guru kita, dengan latar belakang seperti ini, secara massif mampu menampilkan sekolah-sekolah berskala internasional ?

Untuk menjadikan sebuah lembaga pendidikan semisal sekolah/madrasah mempunyai kualitas internasional, tentulah bukan perkara yang mudah. Banyak hal yang perlu disiapkan oleh pimpinan lembaga dan seluruh komponen lainnya. Di sisi lain, diperlukan motivasi yang kuat serta kerja keras dari seluruh civitas akademika dan steakholder lembaga pendidikan tersebut. Persiapan pertama untuk menuju madrasah internasional adalah peningkatan SDM tenaga pengajar atau guru sebagai ujung tombaknya. Yaitu kemampuan guru dalam berbahsa Inggris dan atau Arab baik lisan atau tulisan (English lulus TOEFL di atas 500).10 Juga pematangan guru dalam wawasan internasional. Seperti memperbanyak kualitas interaksi dengan pengajar luar negeri (native speaker). Persiapan yang kedua adalah penyesuaian sistem pendidikan dengan standar internasional. Dalam hal ini memprioritaskan untuk penguasaan bidang bahasa, matematika, dan science.

E. KESIMPULAN

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa kondisi pendidikan di negara kita masih jauh ketinggalan dari konteks bilateral dan kawasan, untuk itu perlu pemberdayaan dalam bentuk upaya peningkatan mutu yang lebih kuat dan merata lagi dari negara dan seluruh anak bangsa.

Ibarat nakhoda, kepemimpinan pendidikan merupakan pemberi arah yang strategis dalam mencapai cita-cita dengan target, warna, bentuk, dan produk pendidikan. Kepemimpinan pendidikan, sekolah dan madrasah, menjadi sinergis tumpuan harapan di masa depan : mampu menghasilkan lembaga-lembaga pendidikan bermutu sekaligus kompetitif di tingkat global.

DAFTAR PUSTAKA

Hadar, Ivan A., MDGs, Tersisa Separuh Waktu, dalam Opini Harian Surat Kabar Kompas, Selasa, 27 Maret 2007, p. 6

Hamdani, M.Djaswidi A, 2005, Pengembangan kepemimpinan Transformasional Pada Lembaga Pendidikan Islam, Nuansa Aulia Bandung, Cet.1, p. 155-166.

Himpunan Perundang-Undangan RI tentang Sisdiknas, 2005, CV. Nuansa Aulia, Bandung , Cet.I, p.16

Mulyasa, E., 2003, Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional, PT Remaja Rosdakarya Bandung, Cet.1, p. 216, 224-233.

Ritonga,Razali,MDGs dan Komitmen Pemerintah, dalam Opini Harian Surat Kabar Kompas, Selasa, 27 Maret 2007, p. 6

Samsudin, Sadili, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, CV. Pustaka Setia Bandung, Cet.1, p. 40

Supriyanto, 2007, Menggagas Madrasah Berstandar Internasionl, Majalah Rindang : Kanwil Depag Semarang , edisi April 2007, p. 22-23

Sodikin, Amrin, Pendidikan, KBK, dan Peradaban Bangsa, Majalah Rindang Kanwil Depag Semarang, Edisi September 2005, p. 22

Amrin Sodikin

MPI Semester I STAIN CIREBON

NIM: 505710040



1 Amrin Sodikin, Pendidikan, KBK, dan Peradaban Bangsa, Majalah Rindang Kanwil Depag Semarang, Edisi September 2005, hlm. 22

2 Ivan A. Hadar, MDGs, Tersisa Separuh Waktu, dalam Opini Harian Surat Kabar Kompas, Selasa, 27 Maret 2007, hlm. 6

3 Razali Ritonga, MDGs dan Komitmen Pemerintah, dalam Opini Harian Surat Kabar Kompas, Selasa, 27 Maret 2007, hlm. 6

4 Himpunan Perundang-Undangan RI tentang Sisdiknas, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2005), Cet.I, hlm.16

5 M.Djaswidi A. Hamdani, Pengembangan kepemimpinan Transformasional Pada Lembaga Pendidikan Islam, Bandung, Nuansa Aulia, 2005, Cet.1, hlm. 155-166.

6 E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003) Cet.1, hlm. 216.

7 E. Mulyasa, Ibid., hlm. 224-233

8 Sadili Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), Cet. 1, hlm. 40

9 Hal ini disampaikan semasa kuliah oleh Dr. Adirukmi Ahmad Azis, alumnus UPI Bandung yang kini menjadi dosen di Pusat Pengkajian Sains Fizik (Fakultas Biologi) USM, beliau bersama sang suami yang dari jiran asli mengajar dan tinggal di sekitar kampus tersebut.

10 Supriyanto, Menggagas Madrasah Berstandar Internasionl, Majalah Rindang : Kanwil Depag Semarang, Edisi April 2007, hlm. 22-23